"Manusia Wacana"
Saya semakin mengerti mengapa Allah SWT membenci orang yang hanya pandai berkata tapi tak pandai berbuat. Manusia seperti ini saya sebut manusia wacana. Indah tutur katanya namun buruk kerjanya dan perilakunya. Manusia wacana terlihat hebat namun aslinya tak layak dijadikan teladan.
Banyak manusia wacana di sekitar kita. Saya pernah sedikit jatuh hati kepada salah satu pemilik even organizer (EO). Saat ngobrol dengan saya, ia menuturkan prinsip-prinsip hidupnya yang luar biasa. Ia juga bercerita tentang berbagai kebaikan yang sudah ia lakukan karena sejalan dengan visi hidupnya. Tetapi sudah setahun ia tak membayar kewajibannya kepada saya. Hehehehe… Ini contoh manusia wacana.
Orang yang sering menawarkan janji-janji kepada calon pelanggannya, namun setelah itu pelanggannya tidak mendapatkan apa yang ia janjikan. Ini juga saya sebut manusia wacana. Orang tua yang melarang anaknya merokok padahal ia perokok berat, ini pun termasuk manusia wacana.
Seorang trainer yang sering mendorong para peserta training membuat visi atau impian hidup padahal ia sendiri bingung apa impian hidupnya, ini juga manusia wacana. Para politisi yang mengklaim berjuang untuk rakyat hanya untuk menarik simpati pemilihnya juga termasuk manusia wacana. Manusia wacana itu tak tahu malu. Ia merasa baik, padahal faktanya tidak.
Manusia wacana itu seperti balon, terlihat besar namun kosong. Tentu Anda tak mau menjadi seperti balon. Bagaimana agar kita tidak termasuk menjadi manusia wacana? Pertama, belajarlah untuk menjadi pendengar yang baik. Jangan merasa menjadi pendengar kalau Anda hanya diam karena menunggu orang lain berbicara. Pendengar yang baik itu mengambil hikmah dari ucapan orang lain, respek kepada lawan bicara.
Kedua, bergaulah dengan orang kritis yang cerdas dan tulus. Orang yang selalu memuji kita belum tentu baik, boleh jadi justru itu menjerumuskan. Sebaliknya, bergaul dengan orang yang kritis boleh jadi kadang menyakitkan namun bisa jadi itu yang menyelamatkan. Banyak manusia kritis yang cerdas, baik dan tulus di sekitar kita, jadikanlah ia sahabat Anda.
Ibarat mobil, agar selamat sampai tujuan perlu rem dan gas. Sahabat yang sering memberi apresiasi itu adalah gas. Sementara sahabat yang kritis itu rem. Mainkan gas dan rem pada proporsi yang tepat.
Segerala lakukan kedua hal di atas, agar Anda tak menjadi manusia wacana.
by Jamil Azzaini