Rabu, 16 April 2014

DAFTAR NAMA CALON MAHASISWA BARU

https://docs.google.com/file/d/0B3FGUTMBcfezNEk4SzFHRE1BdzA/edit

Hadirkan Rasa Malu


Senin kemarin, saya tidak berniat untuk puasa sunah karena jadwal saya yang sangat padat. Saya memerlukan banyak minum air putih saat memberikan training. Khawatir tenggorokan kering karena puasa maka saya putuskan untuk tidak berpuasa. Saat istri dan anak sahur saya tidak ikut serta, saya menyibukkan diri dengan bersujud dan berdoa.
Namun, beberapa menit sebelum Subuh saya merenung. “Anak saya Fikar, baru kelas 5, ia berpuasa sunah padahal ia juga harus tetap sekolah. Masak saya tak kuat berpuasa hanya dengan alasan memberikan training dan sibuk kerja. Sungguh alasan yang dibuat-buat. Malu ah sama Fikar.”
Akhirnya saya putuskan berpuasa walau tidak sahur kecuali hanya minum air putih. Apakah kemudian saya bermasalah saat memberikan training? Ternyata tidak.
Ketakutan terkadang kita ciptakan sendiri padahal faktanya itu tidak terjadi. Ketakutan terkadang kita hadirkan untuk membuat alasan dan menutupi rasa malas kita. Maka, hadirkan rasa malu agar kita tak terlalu banyak menciptakan banyak ketakutan.
Menghadirkan rasa malu itu penting terutama bagi orang seperti saya yang imannya masih lemah. Awalnya karena malu setelah itu luruskan niat agar tetap bernilai ibadah. Teman saya belajar menghafal banyak doa awalnya karena malu, setiap ditanya anakknya ia tak bisa menjawab. Menghadirkan rasa malu membuat ia sekarang hafal banyak doa dan hafal surat-surat pendek sehingga siap menjadi imam sholat.
Hadirkan rasa malu bila kita bekerja di sebuah perusahaan namun tak banyak prestasi yang bisa kita torehkan. Malulah bila hanya makan gaji buta. Malulah bila hanya bisa menuntut kepada perusahaan padahal prestasinya pas-pasan. Malulah bila datang sering terlambat sementara bila pulang selalu tepat.
Malulah bila banyak berjanji tapi tak ditepati. Termasuk malulah bila Anda promosi dengan melebih-lebihkan apa yang bisa didapat oleh pembeli/peserta. Malulah bila apa yang Anda janjikan tidak menjadi kenyataan. Malulah bila kita punya karyawan namun kita jarang memperhatikan dan mengembangkannya.
Malulah menjadi laki-laki bila sudah menyusun skripsi tetapi uang masih meminta kepada orang tua. Seharusnya juga malu besar bila kuliah S-2 tetapi uang masih meminta-meminta kepada orang tua. Kapan dirimu mandiri?
Hadirkan rasa malu karena belum mampu membahagiakan orang tua. Sungguh, mengabdi kepada orang tua bukan sekadar cium tangan dan mendoakannya. Harus ada langkah nyata yang mengeluarkan energi, tenaga, dana dan waktu untuk membahagikan mereka. Sudahkah? Malulah bila belum!
Hadirkan rasa malu dalam setiap aktivitas kita. Malu belum banyak memberi. Malu belum banyak berbuat. Malu belum banyak beramal. Malu karena kemampuan dan keahlian tak jua berkembang. Malu selalu meminta gratisan. Malu karena sudah semakin tua namun belum banyak “jejak” yang kita tinggalkan di semesta. Milikilah rasa malu agar kita tidak menjadi manusia yang memalukan. Setuju?
Salam SuksesMulia!

Minggu, 23 Maret 2014

Manusia Wacana

"Manusia Wacana"
Saya semakin mengerti mengapa Allah SWT membenci orang yang hanya pandai berkata tapi tak pandai berbuat. Manusia seperti ini saya sebut manusia wacana. Indah tutur katanya namun buruk kerjanya dan perilakunya. Manusia wacana terlihat hebat namun aslinya tak layak dijadikan teladan.
Banyak manusia wacana di sekitar kita. Saya pernah sedikit jatuh hati kepada salah satu pemilik even organizer (EO). Saat ngobrol dengan saya, ia menuturkan prinsip-prinsip hidupnya yang luar biasa. Ia juga bercerita tentang berbagai kebaikan yang sudah ia lakukan karena sejalan dengan visi hidupnya. Tetapi sudah setahun ia tak membayar kewajibannya kepada saya. Hehehehe… Ini contoh manusia wacana.
Orang yang sering menawarkan janji-janji kepada calon pelanggannya, namun setelah itu pelanggannya tidak mendapatkan apa yang ia janjikan. Ini juga saya sebut manusia wacana. Orang tua yang melarang anaknya merokok padahal ia perokok berat, ini pun termasuk manusia wacana.
Seorang trainer yang sering mendorong para peserta training membuat visi atau impian hidup padahal ia sendiri bingung apa impian hidupnya, ini juga manusia wacana. Para politisi yang mengklaim berjuang untuk rakyat hanya untuk menarik simpati pemilihnya juga termasuk manusia wacana. Manusia wacana itu tak tahu malu. Ia merasa baik, padahal faktanya tidak.
Manusia wacana itu seperti balon, terlihat besar namun kosong. Tentu Anda tak mau menjadi seperti balon. Bagaimana agar kita tidak termasuk menjadi manusia wacana? Pertama, belajarlah untuk menjadi pendengar yang baik. Jangan merasa menjadi pendengar kalau Anda hanya diam karena menunggu orang lain berbicara. Pendengar yang baik itu mengambil hikmah dari ucapan orang lain, respek kepada lawan bicara.
Kedua, bergaulah dengan orang kritis yang cerdas dan tulus. Orang yang selalu memuji kita belum tentu baik, boleh jadi justru itu menjerumuskan. Sebaliknya, bergaul dengan orang yang kritis boleh jadi kadang menyakitkan namun bisa jadi itu yang menyelamatkan. Banyak manusia kritis yang cerdas, baik dan tulus di sekitar kita, jadikanlah ia sahabat Anda.
Ibarat mobil, agar selamat sampai tujuan perlu rem dan gas. Sahabat yang sering memberi apresiasi itu adalah gas. Sementara sahabat yang kritis itu rem. Mainkan gas dan rem pada proporsi yang tepat.
Segerala lakukan kedua hal di atas, agar Anda tak menjadi manusia wacana.
by Jamil Azzaini